Sore
itu sekitar pukul 17.00 WIB dengan kondisi cuaca gerimis aku melintasi sebuah
jembatan dengan mengendarai sepeda motor. Terlihat di salah satu sisi jembatan,
di atas trototar, seorang bapak tua sedang menjajajakan dagangannya. Si Bapak Tua
itu hanya beralaskan tikar sebagai tempat duduknya, memakai pakaian sederhana, dan
menggelar ubi singkong dagangannya di atas trotoar meski dalam kondisi diterpa
gerimis air hujan. Terlintas perasaan iba, kasihan, sekaligus salut yang aku
rasakan. Iba ketika melihat seorang bapak-bapak tua yang seharusnya bisa
menikmati masa pensiunnya untuk bermain dengan cucu di rumah, ternyata masih
harus bekerja keras demi memberik nafkah keluarga. Ada rasa kasihan melihat
kondisi tersebut, ketika Si Bapak Tua menjual ubi singkongnya di tempat terbuka
tanda adanya atap untuk berteduh, padahal kemungkinannya adalah kecil sekali
akan adanya seseorang untuk membeli dagangan Si Bapak. Salut, meskipun dengan
kondisi perekonomiannya yang penuh keterbatasan, Si Bapak Tua masih memiliki
tekad yang kuat untuk berjuang. Beliau masih menguatkan diri untuk mencari
rezeki dengan cara yang baik dan bermartabat. Bukan menjadi seorang peminta-minta.
Sumber : imelda.coutrier.com
Si
Bapak Penjual Singkong, mungkin seperti itu aku menyebutnya, menurutku adalah
seorang laki-laki yang meskipun sudah berusia senja, tetapi masih memiliki
semangat untuk menjalani kehidupan dengan cara yang bermartabat dan juga
terhormat. Menjual suatu barang yang sudah tidak familiar di kota besar
bukanlah perkara gampang, ditambah lagi berat barang yang harus dipikul oleh Si
Bapak dalam menjajakannya singkongnya kepada calon pembeli. Seberapa kuat fisik
seorang bapak tua untuk berjalan kaki mengarungi jalanan kota yang penuh dengan
sepeda motor, mobil, dan kendaraan besar lain? Resiko tertabrak kendaraan juga tidak
menjadi halangan baginya untuk tetap berjuang demi keluarganya. Sekiranya bukan
kekuatan fisik yang menggerakkan Si Bapak Tua untuk berjalan jauh meninggalkan
rumahnya dan mencari calon pembeli untuk ubi singkong dagangannya. Adalah
kekuatan hati dan rasa cinta pada keluarga yang menguatkannya melakukan hal
tersebut.
Mengapa
Si Bapak Tua lebih memilih Singkong untuk dijual? Mengapa bukan barang dagangan
lain yang dijualnya? Karena tentun sulit untuk mendapatkan pembeli dari ubi
singkong mentah di kota-kota besar, terlebih kehidupan di kota besar lebih
banyak didominasi oleh masyarakat yang terbiasa dengan hal-hal serba praktis.
Si Bapak Tua mungkin sudah tidak memiliki hal lain lagi untuk dijual agar
mendapatkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Beliau ini saya
kira adalah orang yang luar biasa. Alih-alih memilih untuk menjadi seorang
peminta-minta atau pengemis, beliau lebih memilih untuk tetap berusaha
menjemput rezekinya dengan cara menjual ubi singkong mentah yang kecil
kemungkinannya untuk dibeli.
Si
Bapak Tua menjual barang dagangannya di tengah gerimis air hujan yang menerpa.
Ancaman sakit karena kehujanan beliau hiraukan demi bisa terjualnya barang
dagangan. Di waktu senja yang seharusnya setiap orang pulang ke rumah
keluarganya masing-masing, ternyata Si Bapak Tua masih terus setia menjajakan
barang dagangannya. Apakah beliau tidak ingin pulang? Sangat ingin tentunya.
Peraasaan kasih sayangnya pada keluarga mengalahkan rasa letih dan capek yang
beliau alami setelah harus berjalan jauh untuk berjualan dan menunggui barang
dagangan miliknya.
Ada banyak hikmah yang bisa aku
ambil dari Si Bapak Penjual Singkong tersebut. Ingatanku tentang SI Bapak
Penjual singkong masih membekas hingga sekarang. Tidak terbayang bagaimana
rasanya jika Si Bapak Penjual Singkong tersebut adalah ayah kita, kakek kita,
atau saudara yang masih berkerabat dekat dengan kita. Kejadian itu sudah cukup
lama, namun aku masih bisa terus mengambil pelajaran darinya. Bahkan hingga
saat ini. Pelajaran hidup tentang makna perjuangan, rasa sayang, dan pantang
berputus asa. Selayaknya kita juga harus menjadi pribadi yang bersyukur karena
masih diberikan kelimpahan rezeki dan hidup berkecukupan. Memiliki pekerjaan
yang baik dan penghasilan yang jumlahnya lebih besar daripada Si Bapak Tua yang
menjual singkong tersebut.
Dipublikasikan oleh : Agil S Habib